Budaya-Tionghoa.Net | Setelah Confucius meninggal dunia pada tahun 479 SM, maka perkembangan ajaran Confucius diteruskan oleh murid-muridnya, yang seluruhnya berjumlah kurang lebih 3000 orang. Di antara mereka terdapat 72 murid utama yang paling menonjol, sehingga dijuluki ` 72 orang bijak ‘. Terdapat cukup banyak murid-muridnya tersebut yang memangku jabatan tinggi di pemerintahan. Golongan terpelajar yang mengikuti ajaran Confucius ini membentuk suatu aliran intelektual yang disebut ” Ru Jia ” (Golongan Terpelajar).
|
Di dalam perkembangan Ru Jia ini, tercatat beberapa tokoh yang memegang peranan cukup penting dalam meneruskan tradisi ajaran Confucius, yaitu Cheng Se (483 – 402 SM), Mencius (Beng Zi 371 – 289 SM), dan Hsun Zi (298 – 238 SM). Yang paling menonjol adalah Mencius dan Hsun Zi. Pandangan mereka sedikit berbeda dalam menanggapi masalah kehidupan berdasarkan sifat sejati manusia [Jen Sing]. Dalam kitab Lun Yu XVII/2 dikatakan, ” Watak sejati itu saling mendekatkan, kebiasan saling menjauhkan”. Ini berarti setiap manusia sudah membawa serta kodrat (karma dalam pengertian Buddhisme) masing-masing; apakah kodratnya yang dibawa sejak lahir itu baik atau buruk akan menentukan tingkah laku seseorang dalam pendidikan dan pergaulan di kemudian hari, yang mana akan mempengaruhi kepribadian orang tersebut.
Di dalam menanggapi hal demikian, terdapat perbedaan antara Mencius dan Hsun Zi. Menurut pandangan Mencius pada dasarnya sifat sejati manusia (Jen Sing) yang dibawa sejak lahir adalah baik. Ini terbukti pada umumnya manusia mempunyai rasa iba terhadap anak kecil, manusia senang akan perdamaian dan manusia bila saling bertemu dengan kenalannya suka menampilkan senyumnya. Manusia dapat menyempurnakan sifat sejatinya (Jen Sing) dengan berusaha memupuk sifat-sifat mulia lainnya, yaitu : Jen, I, Li, Chih, Hsin dan menjadi manusia yang sempurna budi pekertinya (C’un Zi). Selain itu, faktor pendidikan dan pergaulan memegang peranan yang cukup penting juga khususnya dalam pembentukan karakter dan budi pekerti manusia.
Hsun Zi berpandangan bahwa pada dasarnya sifat sejati manusia (Jen Sing) yang dibawa sejak lahir adalah buruk atau tidak baik adanya. Manusia belum seluruhnya meninggalkan sifat-sifat buruk primitifnya. Manusia masih memiliki naluri yang kuat untuk makan bila lapar, minum bila haus, mencari tempat yang hangat bila kedinginan, beristirahat bila letih. Naluri-naluri tersebut mempunyai sifat buruk. Namun, sifat buruk tersebut dapat diubah dengan pendidikan budi pekerti, sehingga manusia dapat berubah menjadi beradab dan baik. Demikian juga dengan pengetahuan mengenai kesusasteraan dan kesenian (musik) akan menghadirkan manusia-manusia yang dapat menghayati nilai kesejatian hidup ini. Walaupun demikian, Mencius dan Hsun Zi sependapat, bahwa karakter dapat dibentuk melalui pendidikan. Oleh karena itu, menurut ajaran Confucius, nilai pendidikan bagi seseorang amatlah penting. Hal inilah yang mereka terapkan selama berabad-abad dalam rangka pembentukan karakter manusia.
Setelah melewati periode pasang surut selama abad ke-3 SM, Confucianisme akhirnya mulai berkibar kembali selama dinasti Han (206 SM-tahun 220). Karya para Confucianis, dimana salinannya sempat dimusnahkan sebelum periode tersebut, disalin kembali dan diajarkan oleh para cendekiawan di berbagai akademi nasional. Karya-karya tersebut kemudian juga ditetapkan sebagai suatu syarat ujian negara untuk dapat memangku jabatan ketatanegaraan. Para calon pegawai yang akan ditempatkan dalam jabatan pemerintahan, haruslah memperlihatkan penguasaan pengetahuannya terhadap literatur klasik tersebut. Sehingga, paham Confucianisme menduduki posisi yang sangat mempengaruhi kehidupan politik dan intelektual China saat itu.
Kesuksesan pengajaran Confucianisme pada masa dinasti Han terutama atas jasa dari Tung Chung-shu, yang pertama merekomendasikan sistim pendidikan harus dibina berdasarkan ajaran Confucius. Tung Chung-shu mempercayai bahwa kedekatan hubungan antara sifat sejati manusia dan alam; yakni perbuatan manusia dapat mempengaruhi berbagai fenomena di alam semesta. Segala bencana alam dapat dipandang sebagai suatu peringatan terhadap manusia karena perbuatannya yang melanggar sila. Hal ini menciptakan ketakutan terhadap Yang Maha Kuasa dimana dengan kekuasaanNya, memiliki kekuatan yang tidak terbatas (omnipotent).
Dalam situasi kekacauan politik setelah runtuhnya dinasti Han, paham Confucianisme dibayangi dua ajaran filsafat yang juga sama-sama berkembang saat itu, yaitu Taoisme dan Buddhisme. Walaupun begitu, karya-karya klasik Confucius tetap merupakan sumber utama bagi para pelajar saat itu, dan dengan dimulainya masa perdamaian dan kemakmuran dalam dinasti Tang (618-907), penyebaran Confucianisme makin dipacu. Monopoli pengajaran yang dipegang oleh para pengikut Confucius, sekali lagi menjadikan paham ajaran ini menduduki posisi birokrasi yang tinggi, sebagai suatu ajaran negara dengan sistim ortodok.
HENGKI SURYADI
Budaya-Tionghoa.Net | Arsip Mailing List Budaya Tionghoa no 1241