Kompas | Pada era sebelum televisi masuk Indonesia, lagu-lagu daerah berbahasa Makassar pernah menasional dan menjadi top hit di beberapa stasiun RRI di Nusantara. Anging Mammiri, Ati Raya, Anak Kukang, Amma Ciang, dan Pakarena adalah beberapa di antaranya.
Namun, tidak banyak yang mengetahui, apalagi generasi muda zaman sekarang, bahwa beberapa lagu, seperti Ati Raja, Dendang-dendang, Sailong, dan Amma Ciang, diciptakan oleh seorang China perantauan bernama Ho Eng Dji. Saat masa kanak-kanak, ia mengikuti orangtuanya merantau dari daratan China ke Makassar. Ho Eng Dji terjun langsung dalam budaya Makassar. China Makassar kelahiran tahun 1906 tersebut meninggal dunia di Makassar pada tahun 1960. Inilah sosok China perantauan yang mampu beradaptasi bahkan melebur dalam budaya setempat.
Hampir seangkatan dengan Ho Eng Dji, masih ada lagi seorang China Makassar yang berkiprah di jalur musik daerah. Ia bernama Pui Tjong Ang. Pada masa “makmurnya” kehidupan orkes di Tanah Air (1950-an sampai 1960-an), Pui Tjong Ang memimpin sebuah orkes yang khusus mengumandangkan lagu-lagu daerah Makassar.
Sesungguhnya, kaum China perantauan di Makassar-apabila dibandingkan dengan kaum China perantauan lainnya yang bermukim di bagian lain di Tanah Air-masih lebih merakyat dan lebih berbaur dengan mereka yang pernah kita sebut kaum pribumi.
Seorang alumnus Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang mendalami Sinologi, Shaifuddin Bahrum, menambahkan, masih ada seorang pria bernama Ang Bang Tjiong yang memilih jalur sastra dalam bentuk pantun/puisi untuk mencurahkan isi hatinya. Ia jatuh cinta kepada seorang gadis pribumi. Yang unik di sini, Ang adalah orang miskin dan si gadis adalah anak orang kaya yang menampik asmara Ang Bang Tjong.
Ang menulis sajak-sajak dengan mencampuradukkan bahasa Melayu dengan bahasa Makassar! Misalnya:
Naik gunung Butta Makale
Jual sarung jai taralle (jai taralle: banyak laku/terjual)
Jikalau tuan aqballe-balle (aqballe-balle: berbohong/dusta)
Tentu saya jadi capele (capele: kecewa).
Masuknya China ke Indonesia
Menurut penelusuran Shaifuddin Bahrum, orang-orang China yang masuk Indonesia terutama berasal dari Provinsi Fu Kian dan Guandong. Dari cara berkomunikasi, mereka dapat dikelompokkan dalam empat suku bangsa: Hok Kian, Hakka alias Khek, Kanton, dan Tio Ciu.
Orang Hok Kian adalah kelompok imigran China yang pertama bermukim di Makassar dalam jumlah agak banyak. Adapun orang Hakka (Khek) adalah kelompok terbanyak kedua yang bermukim di Kota Daeng.
“Sumber pembentukan kebudayaan masyarakat China terutama sistem kepercayaanmereka, yaitu ajaran Khonghucu, Tao, dan atau Buddha. Sumber kedua adalah respons mereka terhadap lingkungan dan kebudayaannya, yaitu dalam menjawab tantangan alam di mana mereka hidup dan melakukan aktivitas untuk membangun kehidupannya,” papar Shaifuddin.
Orang China perantauan itu kebanyakan menganut kebudayaan agraris dan maritim. Ada juga yang merupakan kaum pekerja, seperti tukang, penambang, dan pedagang. Mereka dengan mudah beradaptasi sesuai profesinya, kecuali yang berasal dari kebudayaan agraris. Mereka ini karena kesulitan-warga asing memperoleh lahan di pedalaman-dalam menghadapi tantangan alam yang dihadapinya akhirnya terjun juga ke dunia usaha, membuka warung kopi dan toko-toko di perkotaan.
Menurut Shaifuddin Bahrum, kedatangan orang China di Makassar sesungguhnya lebih menguntungkan bagi mereka yang berasal dari desa pantai. Di Makassar, memang mereka tidak lagi menjadi nelayan, tetapi mereka membuka toko alat-alat perikanan dan banyak pula yang menjadi pedagang antarpulau. Pada masa pemerintahan kolonial sampai sekitar 20-an tahun setelah Indonesia merdeka, perdagangan antarpulau di Nusantara memang lebih banyak dikuasai orang-orang China. Tersebutlah pada era tahun 1920-an, ada nama Nio Ceng Seng. Warga China
Makassar, pemilik banyak kapal kayu dan perahu yang merupakan orang terkaya di Makassar masa itu.
Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Sulsel, banyak orang China yang berdagang dengan raja-raja. Bahkan, beberapa di antaranya memberi pinjaman untuk membeli senjata guna melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Walaupun demikian, sejarah mencatat pula bahwa Makassar adalah kota pertama di Indonesia yang menjadi lokasi “pengganyangan orang-orang China atau keturunan China (10 November 1965). Tindakan rasialis warga Makassar itu untuk melampiaskan kemarahan mereka pada peristiwa G30S dan terhadap poros Jakarta-Beijing yang dibangun pemerintahan Orde Lama.
Sejak itu, kota Makassar menjadi lokasi paling sering terjadi kerusuhan rasial dengan “pengganyangan” orang-orang Tionghoa dan atau keturunannya. Penyebabnya, kemungkinan terbesar, adalah “kecemburuan sosial” karena dampak politik penjajahan yang menempatkan etnis Tionghoa berbeda dengan masyarakat pribumi. Maka, dengan perlakuan khusus pemerintah kolonial tersebut, orang-orang Tionghoa memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk membuka usaha, di mana setiap kesempatan kerja yang mereka ciptakan memprioritaskan sesamanya etnis China. Memang ada kesan di kalangan warga Makassar, tidak ada orang China yang miskin. Mereka, di masa lalu, sangat besar menguasai perekonomian daerah/nasional sehingga tingkat kesejahteraannya memancing kecemburuan sosial.
Dalam posisi selaku pengusaha nasional yang sukses, M Jusuf Kalla 29-an tahun lalu sudah berteriak, “Buang jauh-jauh pandangan bahwa orang China memang ditakdirkan menjadi orang kaya. Sebab, kalau itu benar, pasti RRC adalah negara terkaya di dunia. Sebab, semua penduduknya orang China. Sebaliknya, karena miskinnya China itu sehingga mereka merantau ke negara kita. Nah, Kalau di sini mereka kaya, itu karena mereka pekerja keras, ulet, tahan bantingan, orientasi kepada duniawi saja, dan pandai menyuap! Tionghoa miskin pun banyak di Indonesia, pergilah ke Kalimantan Barat, misalnya, di sana ada kaum Tionghoa menjadi pembantu rumah tangga, menjadi buruh pelabuhan, dan menjadi petani.”
Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah kecil warga etnis Tionghoa menikah dengan warga Bugis/Makassar dan mengadopsi budaya setempat. Maka, lahirlah masyarakat Tionghoa peranakan Makassar, peranakan Bugis, peranakan Mandar, peranakan Toraja, dan sebagainya.
Warga Tionghoa Makassar pun berakulturasi dan bahkan mereka juga ada yang mengusung kebudayaan Makassar, di samping tetap mempertahankan tradisi yang dibawa dari Tiongkok. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan campuran (hybrid).
Di Makassar sudah berdiri kelenteng dengan arsitektur China sejak 300 tahun lalu. Di tempat inilah mereka melakukan berbagai aktivitas kepercayaan, memberi penghormatan/persembahyangan kepada dewa-dewa dan para leluhur. Pada waktu-waktu tertentu (sesuai agenda) mereka melakukan perayaan-perayaan, seperti Tahun Baru Imlek, dan Cengbeng.
Sekalipun orang-orang Makassar pada abad ke-17 sudah memeluk agama Islam, orang Tionghoa dapat bergaul dengan baik dan diterima dalam pergaulan antar-agama. Orang Makassar tidak merasa terganggu dan terusik sehingga pergaulan mereka harmonis.
Seni bangunan
Kesenian mereka dibawa serta ke kota Anging Mammiri, misalnya seni bangunan berupa kelenteng dan vihara serta kesenian barongsai. Yang terakhir ini biasanya untuk memeriahkan perayaan Tahun Baru Imlek dan Capgomeh. Jenis kesenian ini bukan hanya digemari orang-orang keturunan Tionghoa saja, melainkan oleh masyarakat Makassar pada umumnya. Bahkan, warga dari luar Makassar pun berdatangan ke ibu kota Provinsi Sulsel itu dengan membawa bekal dan keluarganya untuk menyaksikan aksi barongsai pada sekitar Tahun Baru Imlek dan Capgomeh.
Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan sesungguhnya telah kena pengaruh China, terutama dalam hal warna, pakaian, dan tradisi. Pakaian adat Bugis-Makassar yang dikenal secara nasional sebagai baju bodo dan pertenunan kain sutra diduga terpengaruh kebudayaan China dalam kebudayaan Bugis, Makassar, dan Mandar. Demikian pula dengan berbagai aksesori keemasan dalam pakaian adat Bugis-Makassar, terutama perhiasan pakaian adat kaum wanitanya. Lebih faktual lagi pada jenis perhiasan yang disebut ponto naga, artinya gelang naga. Di dunia ini, binatang yang kita sebut naga itu hanya ada dalam mitos China.
Adapun kebudayaan sutra dan emas sudah berkembang di China sejak abad ketujuh, lalu menyebar ke berbagai negara. Antara lain diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Ketiga (sejarah Islam), Usman Bin Affaan, khalifah pernah mengirim utusan dagang ke China pada tahun 651. Hubungan dagang Arab-China ini kemudian menciptakan apa yang dinamakan silk road, jalur sutra, yang kemudian menyebar ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia yang dibawa oleh para penganjur agama Islam sebagai komoditas perdagangan.
Orang-orang Tionghoa Makassar pun ternyata banyak yang mengadopsi tradisi keagamaan dalam Islam. Sering ada warga Tionghoa yang non-Muslim memanggil penghulu, ulama atau imam ke rumahnya karena mereka ingin assurommaca, membaca doa atau selamatan. Itu karena mereka percaya pada kekuatan doa. Dengan melakukan hal semacam itu, mereka percaya telah melakukan penghormatan kepada tradisi dan leluhurnya.
(M FAHMY MYALA, Wartawan, Tinggal di Makassar Sumber: Makalah-makalah dalam Seminar Nasional 400 Tahun Makassar, Hotel Sahid Makassar, 30 Juni 2007)
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/27427