邹 (鄒)
ZŌU [COU]
Mandarin: Zōu; Hokkian: Cou;
Tiociu: Cou; Hakka: Ceo; Konghu: Cau
Ejaan Hokkian lama di Indonesia: Tjouw
Pusat leluhur: Fanyang 范阳
(Sekarang propinsi Hebei 河北)
Nomor urut pada Tabel Utama: 270
Nomor urut pada Baijiaxing: 35
Forum Budaya & Sejarah Tionghoa
邹 (鄒)
ZŌU [COU]
Mandarin: Zōu; Hokkian: Cou;
Tiociu: Cou; Hakka: Ceo; Konghu: Cau
Ejaan Hokkian lama di Indonesia: Tjouw
Pusat leluhur: Fanyang 范阳
(Sekarang propinsi Hebei 河北)
Nomor urut pada Tabel Utama: 270
Nomor urut pada Baijiaxing: 35
Tiociu: Huang; Hakka: Fam; Konghu: Fan
Ejaan Hokkian lama di Indonesia: Hoan, Hwan
Pusat leluhur: Gaoping 高平
(Sekarang propinsi Shandong 山东)
Nomor urut pada Tabel Utama: 31
Nomor urut pada Baijiaxing: 46
Mengenali sembahyang rebutan
oleh
Ardian Cangianto
PENDAHULUAN
Setiap menjelang bulan tujuh penanggalan Tionghoa, kelenteng-kelenteng sering melakukan berbagai upacara ritual untuk para arwah gentayangan dan para leluhur. Masyarakat pada umumnya sering menganggap sembahyang qiyue ban 七月半( pertengahan bulan tujuh ) yang berkaitan dengan guijie 鬼節 (festival arwah)[1] atau sembahyang rebutan ( cioko / qianggu 搶孤) yang merupakan tradisi “kelenteng”. Sebenarnya tidak tepat juga anggapan bahwa festival arwah itu adalah festival dan tradisi yang hanya dilakukan di kelenteng. Perlu diketahui bahwa pada umumnya mereka di Taiwan, Hongkong maupun Tiongkok daratan sekarang ini pada saat festival arwah sering mengadakan sembahyang di pinggir jalan tanpa perlu atau wajib melakukan itu di kelenteng. Sedangkan dalam agama Buddha Mahayana Tiongkok disebut sembahyang Ulambana. Taoisme menyebutnya sebagai festival Zhongyuan 中元節.
Pic. 1 Tradisi rakyat di Guilin Tiongkok
|
Pic. 2 Tradisi rakyat di Hongkong |
|
|
Tapi sepanjang penulis tahu, tradisi ini tidak terjadi begitu saja. Adanya pengaruh Buddhism disamping Taoism dan tradisi-tradisi Tionghoa lainnya yang kemudian membentuk upacara ini. Saling interaksi itu nantinya akan memberikan pula warna bagi tradisi sembayang rebutan di kelenteng ataupun dalam tradisi yang dilakukan oleh penganut kepercayaan Tionghoa. Menurut Zhou Shujia 周树佳, tradisi ini pada umumnya dianggap dari agama Buddha tapi sesungguhnya berasal dari Taoism[2]. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan memfokuskan mana yang lebih dahulu atau milik agama apa. Apa yang penulis ingin paparkan adalah asal muasal serta makna-maknanya. Yang jelas perayaan bulan tujuh imlek itu adalah perayaan yang penuh makna dan dirayakan selama ribuan tahun.
DĪNG [TING]
丁
Mandarin: Dīng; Hokkian: Ting;
Tiociu: Teng; Hakka: Ten; Konghu: Ting.
Ejaan lama di Indonesia: Ting, Teng.
Tempat leluhur: Jiyang 济阳 sekarang propinsi Shandong 山东
Nomor urut pada Tabel Utama: 26
Nomor urut pada Baijiaxing: 177
Ada beberapa jalur turunan sne Ding [Ting] 丁, yang pertama ketika Zhou Wuwang [Ciu Bu Ong] 周武王 menghancurkan Shang Zhouwang [Siang Tiu Ong] 商纣王 yang lalim dan mendirikan dinasti Zhou [Ciu] 周, sudah ada raja muda di Ding [Ting] 丁, yang kemudian turunannya menggunakan sne Ding [Ting] 丁. Di sini tidak jelas dari mana asal usul leluhur sne Ding ini.
Jalur kedua adalah, anak Jiang Taigong [Khiang Thaikong] 姜太公 bernama Dinggong [Ting Kong Kip] Ji 丁公伋, turunannya menggunakan Ding [Ting] sebagai sne. Jadi Ding [Ting] 丁 berasal dari sne Jiang 姜 [Khiang]. Pusat dari jalur keturunan ini di Jiyang [Ce Yang] 济阳, propinsi Shandong 山东 [Snua Tang].
Menyambut Rejeki (Kemakmuran) di Malam Tahun Baru Imlek
Kita sering dengar “open house” pada saat perayaan-perayaan tertentu. Misalnya saat Imlek atau Idul Fitri, mereka dari kalangan yang mampu mengadakan “open house” bagi kaum fakir miskin. Mereka membagi-bagi rejeki kepada kaum fakir miskin, memang hal itu adalah hal yang baik. Karena melaksanakan amal dan membagi keuntungan yang didapat selama ini bagi kaum yang tidak mampu. Tapi dalam masyarakat Tionghoa ada satu tradisi yang mulai melenyap.