Budaya-Tionghoa.Net| Perjalanan hidup berkeseniannya dimulai pada tradisi kumpul-kumpul bersama teman-teman di Persatuan Pelajar Banjar Tegal (Singaraja – Bali), untuk mengadakan kegiatan bermain sandiwara (dalam bahasa Indonesia tapi mengambil cerita-cerita daerah setempat). Pada akhir tahun 50-an Putu Oka Sukanta mulai aktif dengan berbagai kegiatan sastra di Bali, dan aktif pula mengisi ruang sastra di RRI Singaraja dan RRI Denpasar. Pada awal akhir tahun 50-an, waktu pindah ke Yogya tulisan puisi-puisinya (dan tulisan-tulisannya yang lain) sudah dimuat di media-media massa, dan baru pada awal tahun 60-an dimuat di Harian Rakyat dan Zaman Baru, dua media massa yang berafiliasi pada Lekra. Seorang temannya, F.L. Risakota, sempat mengomentari bahwa kalau merasakan ‘roh’ yang terkandung dalam setiap tulisan-tulisannya, suatu hari nanti pasti Putu Oka akan masuk LEKRA. Sebuah lembaga kebudayaan rakyat yang dengan gigih menggunakan media kesenian untuk menyentuh persoalan-persoalan politik dan problem-problem sosial pada jaman itu. Putu Oka sendiri mengaku tak pernah dengan sengaja mengaitkan hidup berkeseniannya dengan lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Tak pernah ia lalui prosedur keorganisasian masuk Lekra secara resmi. Hanya karena minatnya pada persoalan-persoalan orang-orang kecil dan masalah-masalah sosial (yang tercermin dalam tulisan-tulisannya), ia kemudian tertarik pada program-program di Lembaga Sastra, sebuah devisi di Lekra. Dan seperti apa yang diramalkan oleh F.L.Risakota tadi, kemudian Putu Oka dikenal sebagai salah seorang penyair yang digolongkan masuk dalam kubu seniman Lekra.