Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Li_Denghui
Forum Budaya & Sejarah Tionghoa
Berikut merupakan notulen dari tema talk show yang diselenggarakan di Klenteng Sinar Samudra Semarang beberapa waktu yang lalu, dengan judul “MENGAPA ORANG KLENTENG HARUS BERAMAL? APA MANFAATNYA?” dengan pembicara Sdr. Soni Zhang salah satu moderator group Budaya Tionghoa.
Kita sering mendengar dan mengucapkan kata “amal”, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “amal”? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari amal adalah perbuatan baik yang mendatangkan pahala. Beramal sama dengan melakukan perbuatan amal, sering disebut dengan berdana. Kedua kata tersebut sama sama memiliki arti “perbuatan memberi” atau “berbuat kebajikan”. Secara ideal, beramal adalah sebuah tindakan memberikan sesuatu (materi dan non materi) kepada pihak (orang atau instansi) yang membutuhkan, dengan dilandasi rasa kemanusiaan, serta dilakukan dengan benar, tepat, tanpa paksaan, dan diawali dengan hati dan pikiran yang ikhlas.
Masih ingat dengan jelas dalam benak saya pertanyaan Apeq Erik Eresen (juga salah satu senior di grup Budaya Tionghoa) saat acara berakhir. Beliau bertanya seperti ini, “Apa perbedaan yang mencolok antara sastra Tiongkok kontemporer dengan sastra Indonesia saat ini?”
Kendati belum disadari secara luas, fakta sejarah menunjukkan bahwa budaya visual Tionghoa di Indonesia telah ada sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga masa kontemporer. Dengan demikian eksistensinya telah ada jauh sebelum pengaruh yang datang dari India, Timur Tengah, apalagi Barat. Dalam bentangan masa yang panjang itu, representasi budaya tersebut disertai beragam konsep dan situasi sosial di belakangnya.
Kebudayaan visual Tionghoa meliputi ranah yang sangat luas. Dalam terminologi estetika modern, jenisnya dapat dikategorikan sebagai seni murni, kriya, desain, maupun arsitektur. Seni murni termasuk lukisan maupun patung; kriya meliputi ketrampilan pembuatan keramik hingga tekstil; desain mengkover rancangan produk sehari-hari dari iklan sampai peniti; dan arsitektur mencakup rumah tinggal hingga tempat peribadatan.
AKU selalu membayangkan, bagaimana kehidupan monarki di dalam Istana Zi Jin Cheng1 di masa lalu; hingga aku bertemu dengannya di suatu senja, di dalam Beijing Botanical Garden, dalam tugasnya sebagai seorang anggota Pusat Penelitian Ilmiah Botani China.
Sejak jodoh pertemuan, yang kutafsirkan terjadi sebagai akumulasi dari semua karma baikku selama ribuan kehidupan itu terjadi, kami menghabiskan banyak masa untuk minum teh bersama di sore hari, di berbagai waktu senggang; dan membincangkan apa yang menjadi masa penuh warna-warni hingga kelabu yang masih mengendap di sebagian besar ingatannya yang mulai menua.