Budaya-Tionghoa.Net | Selama ini, kalau bicara agama, kesannya serius, memancing emosi, membuat tekanan darah meninggi. tapi, tak semua produk agama membuat orang sepaneng, di sini saya coba melontarkan sebuah Puisi Zen Budhisme ( Chan ) yang dihasilkan seorang Biksu. yang ini dijamin menurunkan tekanan darah, membuat dada kita lebih melapang. selamat menikmati! salam, ZFy
Category: Seni
Sutradara Tiongkok Generasi Kelima
Budaya-Tionghoa.Net | Sutradara generasi kelima [5th generation] adalah sebuah grup sutradara dari periode tahun 80-an sampai awal 90-an. Secara umum terdidik setelah Revolusi Kebudayaan. Yang termasuk dalam generasi kelima ini adalah Chen Kaige, Huang Jianxin , Tian Zhuangzhuang , Wu Ziniu , Zhang Yimou , He Ping , He Qun , Hu Mei , Huang Jianxin , Ning Ying , Peng Xiaolian , Wang Xiaoyen , Xia Gang , Zhang Jianya.
Puisi San Guo Dari Masa Dinasti Song – Sebelum Lahirnya San Guo Yan Yi
Budaya-Tionghoa.Net | Karena keberpihakan pengarang, ketika kita membaca San Guo Yan Yi, simpati kita pasti tertuju pada para tokoh dari negeri Shu, seperti Zhuge liang, Liu Bei, Guan yu, Zhao Yun. Tokoh-tokoh dari negeri lain menjadi terabaikan.
Puisi San Guo – Cao Cao , Cao Pi , Cao Zhi
Budaya-Tionghoa.Net | Mungkin lebih banyak yang mengenal Cao Cao sebagai tokoh penguasa negeri Wei yang keras karakternya, tapi sedikit yang mengenal ketokohannya sebagai seorang penyair. Bersama dua orang anaknya, Cao Pi dan Cao Zhi, mereka adalah tokoh penyair penting pada periode Wei-Jin, dengan gaya yang lugas, puisi2 mereka dikenal sebagai gaya Jian’An. yang sempat menjadi panutan penyair generasi sesudahnya, termasuk Li Bai. Saya kutipkan sebuah sanjak terkenal dari Cao Cao, yang berkaitan erat dengan kiprahnya dalam bidang kenegaraan.
Sajak Hari Raya Cengbeng
Budaya-Tionghoa.Net |Membaca sajak Zhou-xiong, hati saya tergerak juga. Sajak tentang Cengbeng atau Qing Ming ini adalah salah satu dari dua sajak yang sampai sekarang masih membekas, walau pertama kali mendengarnya sekitar empat puluh tahun lalu. Setiap sampai baris kedua sajak ini, saya seakan bisa merasakan suasana di kelas dulu ketika guru saya bicara tentang orang-orang yang lalu lalang di jalan seakan terbungkus aura penuh duka di hari raya Cengbeng, sedangkan langit tiada mau kompromi dan hujan terus mengguyur.