ABSTRACT
There are many Chinese temples built in Jakarta since 17th century. Beside its main function as religious place for hua religion (Chinese people religions – a mix between Buddhist, Tao, and Confucian teachings), temples have many other functions. This research will discuss several sites evidences around Jakarta’s Chinese temples which have social and cultural functions. This is qualitative research that use observation methods of the site plans and analysing primary and secondary historical data that backing up all evidences to prove that Chinese temples in Jakarta plays important part in social and community activities, either exclusively between Chinese community, or inclusive – embracing all diverse elements in local communities around the site. It is cross disciplinary research between archaeology and architecture disciplines. The result can help Chinese Indonesian community to see opportunity in using Chinese Temples for social and cultural gathering, meet-ups, and ceremonies like their ancestors did in previous centuries. This also will provide alternative solutions for the lack of communal spaces in DKI Jakarta.
Category: Seni Arsitektur
Istilah Kelenteng dalam bahasa Indonesia
Istilah Kelenteng dalam bahasa Indonesia
Ardian Cangianto
Pendahuluan
Bahasa merupakan bagian dari budaya. Bahasa Indonesia terutama bahasa-bahasa daerahnya memiliki kekhasannya yang unik dalam memberikan penamaan terhadap benda-benda atau warna. Contoh kategorisasi warna : kuning langsat; merah jambu; kuning gading; merah darah. Sedangkan “bunyi” ( onomatope ) juga sering digunakan untuk menunjukkan benda. Contohnya : kentongan; gong; mie tek-tek; meong[1].
Bahasa itu dilihat bukan hanya sebagai sarana untuk mengkomunikasikan ide dan pemikiran, tetapi sebagai intrinsik terhadap informasi mereka ( Berry, Portinga dkk, 2002 : 149 ). Dengan begitu kita bisa melihat bahwa penggunaan “bunyi” ( onomatope ) sebagai kata penunjuk benda merupakan hal yang wajar dalam bahasa Indonesia.
Dalam perkembangan lintas budaya seringkali menemukan kata-kata serapan dari bahasa asing tapi dalam masalah istilah warna dalam bahasa Indonesia itu ada yang menarik, yaitu warna “coklat” yang berasal dari bahasa Belanda ialah chocolade yang sebenarnya menunjukkan jenis makanan coklat. Sedangkan warna coklat dalam bahasa Belanda adalah bruin . Apakah ini berasal dari pohon coklat atau makanan coklat sulit ditelusuri lebih mendalam asal muasal kata warna coklat ini. Tapi yang jelas hal ini menunjukkan bahwa indeks istilah warna itu berdasarkan budaya suatu kelompok masyarakat dalam mempersepsikannya ( lih. Berry, Portinga dkk, 2002 : 154 ). Menurut penulis hal tersebut juga berlaku untuk “bunyi” ( onomatope [2]).
Menghayati Kelenteng Sebagai Ekspresi Masyarakat ( bag.ketiga-tamat )
Gender di Kelenteng
Banyak kelenteng-kelenteng yang dipimpin oleh imam perempuan, umumnya ada di
kelenteng cai ci ( pendoa perempuan dari sub etnis Hakka ) atau juga kelenteng Buddhisme
maupun Taoisme, disebut an 庵. Didalam masyarakat paternalistic yang menjunjung kaum pria
dan menekan kaum perempuan, kelenteng Taoisme dan Buddhisme maupun kelenteng rakyat
bisa menjadi jalan kaum perempuan untuk keluar dari penindasan dan bisa mencapai kesetaraan
dengan pria, bahkan dalam beberapa posisi, kaum biarawati perempuan ini menduduki tempat
yang lebih tinggi dibandingkan kaum pria.
Mengenal Kelenteng Thian Siang Seng Bo (Bagian 3)
Kelenteng Tjoe Wie Kiong Rembang
Rembang merupakan kota tua yang telah dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit, seperti disebutkan dalam kitab “Nagrakartagama Pupuh XXI” Asal mula kota Rembang diperoleh dari kebiasaan orang – orang Jawa asli yang menikah dengan pendatang Campa (Tonkin, Vietnam) yang pandai membuat gula tebu. Dibulan Waisaka orang – orang memulai memangkas tebu (Jawa : ngrembang). Sebelum mulai ngrembang mereka mengadakan upacara suci “Ngrembang Sakawit” dan Samadi ditempat tersebut, tebu yang dipangkas lalu dipotong menjadi dua batang untuk “Tebu Temanten”. Demikianlah asal mula kata ngrembang menjadi nama kota Rembang (Handajani:1997). Di kota ini juga masih banyak ditemui rumah dengan arsitektur tradional tionghoa, dan kota ini juga mempunyai 2 buah kelenteng kuno yang dikenal dengan kelenteng Mak Co atau kelenteng lor dan kelenteng Kong Co atau kelenteng kidul.
Mengenal Kelenteng Thian Siang Seng Bo
Prolog
Sore itu aku heran melihat Om So Soe Tat tetanggaku sedang menggerakkan gerakkan 3 buah lidi yang membara di atas kepalanya saat itu aku masih duduk di SD Santo Yusup Semarang. Karena penasaran aku tanyakan apa yang sedang ia lakukan dan apa yang dia bawa, dan Om So Soe Tat menerangkan bahwa ia sedang bersembahyang kepada Tian 天 dan lidi yang ia pegang namanya hio.