Budaya-Tionghoa.Net | ANG YAN GOAN (1894-1984) bermata sipit, tentu juga para moyangnya semua orang-orang Tionghoa asli yang lahir di daratan Cina. Semua itu bukan kemauan Yan Goan dan jelas bukan pilihannya. Juga di luar kuasanya, Yan Goan dilahirkan di Tanah Pasundan, kota Bandung. Masuk sekolah dasar Pah Hwa berbahasa Tionghoa di zaman kolonial Hindia-Belanda tentulah masih orang-tuanya yang menentukan, tetapi sejak belajar di tingkat sekolah menengah di Tiongkok awal 1900an, rasio dalam kepala anak-muda yang beranjak dewasa ini mulai membikin pilihan sendiri. Dalam banyak hal dia mulai menentukan hal-hal menyangkut diri pribadinya sesuai kemauan dan nalurinya – terutama berkaitan masa-depannya sendiri.
Resensi Buku : Kembang Gunung Purei
Budaya-Tionghoa.Net | Lan Fang, penulis muda kelahiran Banjarmasin, walau terlahir dalam keluagra keturunan Cina yang cukup konservatif dan lebih berkonsentrasi kepada dunia bisnis, Lan Fang lebih suka menulis dan membaca sejak usia sekolah dasar. Kesukaaannya menulis membuatnya ia mencoba-coba mengirim cerita pendek pertamanya ke Majalah Anita Cemerlang pada tahun 1986 dan langsung dimuat sebagai cerita utama di halaman depan majalah tersebut. Semenjak itu Lan Fang jadi ketagihan menulis. Periode 1986-1988 ia cukup banyak menulis cerpen remaja yang dimuat diberbagai majalah remaja seperti Gadis, terutama Anita Cemerlang. Sejak 1997 Lan Fang mememangkan berbagai lomba penulisan yang diadakan majalah Femina. Dua buah novelnya Reinkarnasi (2003) dan Pai Yin (2004) telah diterbitkan oleh Gramedia. Pada tahun 2003 Lan Fan berhasil menyelesaikan novelnya “Kembang Gunung Purei” yang telah mengendap selama hampir lima tahun lamanya dan novel ini memperoleh pengharaan Lomba Novel Femina 2003. Dan kini novel tersebut kembali diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2005 ini.
60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia – China
Budaya-Tionghoa.Net | “We got this invitation, seems interesting”. Itu yang disampaikan istri di minggu ke 2 April. Sementara istri bercerita darimana dia mendapat undangan itu, aku membukanya dan melihat kapan acara berlangsung, acara apa dsb.
Ternyata acaranya adalah peringatan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia – China. Serta merta otak berputar: “ah, mosok 60 tahun?” Minimal hubungan Indonesia – China sudah berbilang ratusan tahun. Dua atau tiga tahun lalu di Semarang saja merayakan 600 Tahun Cheng Ho Mendarat di Semarang (red liat catatan tambahan dibawah) , lha ini kok 60 tahun? Sampai dengan acara selesai, pertanyaan ini tak terjawab. Entahlah menghitungnya mulai dari tahun mana…
Snow Flower
Budaya-Tionghoa.Net | Seorang wanita tua jatuh pingsan di sebuah stasiun daerah pedesaan Cina. Polisi menggeledah barang-barang miliknya untuk menemukan selembar kertas berisi kode rahasia. Wanita itu ditahan dan dicurigai sebagai mata-mata musuh. Tetapi, para cendekiawan yang mengurai tulisan itu mendapati bahwa kode tersebut adalah nu shu—tulisan rahasia kaum wanita yang tidak boleh disentuh dan dilihat oleh kaum lelaki. Tulisan ini digunakan oleh para wanita di derah terpencil di selatan Provinsi Hunan, dan diyakini berkembang seribu tahun yang lalu.
Saat menulis tentang nu shu bagi The Los Angeles Times, penulis Amerika berdarah Cina, Lisa See, yang dikenal di Indonesia lewat novel Liu Hulan: Jaring-jaring Bunga (Qanita,2006) tertarik untuk melakukan riset yang lebih mendalam. Tak puas dengan sejumlah buku dan dokumen yang dibacanya, Lisa See bahkan melakukan perjalanan ke daerah pedalaman Cina untuk menyibak rahasia keberadaan nu shu dan budaya yang melatarbelakanginya.
Asal Mula Kedatangan “Kilin” di Tiongkok dan Indonesia
Budaya-Tionghoa.Net | Hewan “kilin” yang dimaksud sesungguhnya adalah jerapah. Binatang unik ini pertama kali dijumpai oleh Zhenghe beserta pengikutnya di Bengala India. Mereka segera menyangka bahwa hewan itu adalah kilin, salah satu binatang suci dalam tradisi Tiongkok. Ternyata jerapah yang mereka lihat tersebut bukanlah hewan asli Bengala, melainkan pantai timur Afrika. Zhenghe berniat mempersembahkannya pada Kaisar Yongle dari Dinasti Ming dan berlayar ke Kerajaan Malindi di Afrika. Uniknya, jerapah dalam bahasa setempat disebut “gilin” yang dekat bunyinya dengan sebutan bahasa Tionghua bagi hewan tersebut.