ZĒNG [CAN]
曾
Mandarin: Zēng; Hokkian: Can;
Tiociu: Cang; Hakka: Cen; Konghu: Cvng
Ejaan Hokkian lama di Indonesia: Tjan
Pusat leluhur: Luguo 鲁国
(Sekarang propinsi Shandong 山东)
Nomor urut pada Tabel Utama: 254
Nomor urut pada Baijiaxing: 385
Forum Budaya & Sejarah Tionghoa
曾
Mandarin: Zēng; Hokkian: Can;
Tiociu: Cang; Hakka: Cen; Konghu: Cvng
Ejaan Hokkian lama di Indonesia: Tjan
Pusat leluhur: Luguo 鲁国
(Sekarang propinsi Shandong 山东)
Nomor urut pada Tabel Utama: 254
Nomor urut pada Baijiaxing: 385
Tionghoa Dungkek dan Pulau Sapudi (Pulau Madura) dan
Makna Kubur Berbentuk Perahu
Ardian Cangianto
ABSTRAK
Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Nusantara sudah berlangsung selama ribuan tahun lamanya dan hubungan antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan Nusantara dicatat pertama kali dalam “Kronik Han”. Dengan adanya catatan itu menunjukkan berlangsungnya arus migrasi baik dari Nusantara maupun dari Tiongkok.
Dalam perjalanan sejarah arus migrasi dari Tiongkok dan menetapnya mereka di Nusantara, tentunya terjadi asimilasi alamiah dan akulturasi orang-orang Tionghoa yang menyimpan harapan dan keinginan dari kaum imigran Tiongkok yang menetap tersebut. Hal itu dapat kita lihat dalam ornament kelenteng maupun kuburan orang Tionghoa, dalam paper ini akan diuraikan bentuk kuburan kaum Tionghoa di Dungkek dan pulau Sapudi yang amat unik dari bentuknya berupa perahu mengandung unsur pengharapan diterima secara utuh oleh masyarakat tempat mereka tinggal dengan tidak melupakan asal mereka.
Dari pengamatan terlihat adanya perubahan bentuk kuburan dari yang berornamen Tionghoa menjadi bentuk perahu dan kemudian ornament dan bentuk kuburan Tionghoa yang tidak berbentuk perahu lagi. Dari bentuk kuburan itu dapat disimpulkan bahwa ada empat bentuk kuburan dan juga mewakili tiga masa walau tidak secara sepenuhnya dapat dikatakan harus seperti itu, dan bentuk perubahan dari yang bergaya Tiongkok maupun bergaya ‘modern’ atau makam bernuansa ‘Islam’, dapat menunjukkan kepercayaan mereka, tapi dari pengamatan makam berbentuk ‘perahu’ itu dapat dilihat bahwa ternyata hal itu tidak berlaku berdasarkan kepercayaan.
Bentuk kuburan seperti ‘perahu’ yang merapat itu bisa melambangkan pengharapan akan ketenangan dan penerimaan, juga asal muasal mereka adalah perantau melewati lautan dan mendarat di tanah yang baru.
Kata kunci : kubur, perahu, Madura, Sapudi, Dungkek.
Nilai dan guna dari uang
Orang Tionghoa mengenal pepatah “uang bukan serba bisa tapi tanpa uang berlaksa hal tidak bisa ( dikerjakan)” ( 錢不是萬能 沒錢萬萬不能 ). Jaman sekarang, masyarakat sudah terlalu mengagungkan materi. Segala sesuatu yang ada memiliki nilai sehingga seolah-olah tanpa uang tidak bisa hidup. Dalam literature klasik Tiongkok, sejak awal sudah ada pembahasan tentang “dewa uang”[1]. Tapi, yang disebut sebagai “dewa uang”, sebenarnya tidak sama seperti dewa dalam pandangan masyarakat pada umumnya. Sebenarnya , “dewa uang” itu menunjuk pada uang itu sendiri. “Dewa uang” hanya sebagai analogi dan simbol, lebih pada satu ekspresi masyarakat dan system terhadap pengejaran maupun mengidolakan pada kekayaan[2].
Hari Raya Tianchuan 天穿日/天穿节
Hari raya Tianchuan, arti harafiah adalah langit bocor yang memiliki makna langit pada hari raya tersebut akan turun hujan, Tianchuan merupakan hari raya orang Tionghua. Ada perbedaan waktu pada setiap daerah, ada yang merayakan pada imlek bulan pertama tanggal 7, 19, 20 dan 23. Perayaan ini adalah untuk mengenang hari dimana Dewi Nvwa 女娲 menambal langit yang bocor untuk menyelamatkan umat manusia, yang tentunya merayakan hari raya ini berisi pengharapan leluhur pendahulu agar cocok tanam semakin baik, diberikan kesehatan, sejahtera, dan berharap alam harmonis.
[1]. Apa yang disebut manusia ? Manusia adalah mahluk yang berkata. “Manusia disebut manusia, adalah ( karena ) kata. Manusia tidak dapat berkata, bagaimana menjadi manusia” (人之所以为人者言也 人而不能言 何以为人)[2]. Dengan bunyilah manusia merefleksikan perasaannya yang disebabkan adanya unsur-unsur luar, seperti ditulis dalam kitab Liji “Asal dari bunyi, berasal dari hati manusia. Gerak dari hati manusia, berasal dari benda (pengaruh luar ) ( 凡音之起, 由人心生也. 人心之動, 物使然也)[3] . “Interaksi dengan benda melahirkan gerak, terbentuk dengan suara. Suara saling berinteraksi, itulah melahirkan ragam. Ragam menjadi fang( 5 nada ), itulah bunyi”( 感于物而動, 故形于聲.聲相應,故生變. 變成方,謂之音)[4].
Manusia dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain itu menggunakan “bunyi” yang disebut kata, kata ini adalah bagian dari bahasa. Ernst Cassier menuliskan bahwa “Demoskritos-lah orang yang pertama mengajukan tesis bahwa bahasa manusia berasal dari bunyi-bunyi tertentu yang semata-mata bersifat emosional”